Cari Blog Ini

Selasa, 21 Juni 2011

रिज्यूमे हुकुम PERIKATAN

BAB I

PERIKATAN PADA UMUMNYA




Hukum perikatan diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata / BW ) bab I sampai dengan bab IV, yaitu :

  • Bab I : Tentang Perikatan pada umumnya

  • Bab II : Tentang Perikatan yang timbul karena perjanjian

  • Bab III : Tentang Perikatan yang timbul karena Undang-Undang

  • Bab IV : Tentang hapusnya perikatan

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW terdiri dari suatu bagian yang umum dan bagian yang khusus. Bagian umum terdapat pada bab I sampai dengan bab IV, memuat peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahirnya dan hapusnya perikatan, macam - macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus terdapat pada bab V sampai dengan bab XVII yang memuat peraturan - peraturan mengenai perjanjian - perjanjian bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama - nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perjanjian perburuhan, pemberian ( shenking ) dan sebagainya.

Buku III BW menganut asas kebebasan berkontrak dalam hal membuat perjanjian, artinya bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketentuan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Asas ini dapat kita lihat dalam pasal 1338 BW yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang - Undang bagi meraka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini dapat ditarik kesimpulan adanya asas kebebasan berkontrak seperti yang tersebut diatas.

Buku III BW pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap yaitu hukum yang dalam arti konkrit dapat disimpangi oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Jadi orang tidak leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar kepentingan umum dan kesusilaan, tetapi pada umumnya juga diperbolehkan mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III BW tersebut. Karena buku III BW pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap, maka buku III BW menganut sistem terbuka , artinya orang dapat mengadakan perjanjian - perjanjian lain selain dari yang diatur dalam BW. Lain dengan buku II BW yang menganut sistem tertutup, artinya tidak dapat membuat atau memperjanjikan hak - hak kebendaan lain, selain yang diatur dalam BW.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hukum perikatan. Mengenai pengertian hukum perikatan ( verbentenis/obligation ) tidak dijumpai dalam BW. Tidak satu pasal pun yang menguraikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan perikatan. Namun pengertian tentang hukum perikatan dapat kita jumpai dari pendapat para ahli hukum, antara lain :

  • Yustinianus, mengatakan bahwa : “ suatu hukum perikatan adalah suatu kewajiban dari seseorang untuk mengadakan prestasi terhadap pihak lain “.

  • Von Savigny, mengatakan bahwa : “ hukum perikatan adalah hak dari seseorang ( kreditur ) terhadap seseorang lain ( debitur ) “.

  • Prof. Soebekti, SH. Yang mengatakan bahwa : “ suatu perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut “.

Dari tiga macam pengertian diatas, yang sering dipakai oleh masyarakat ialah pengertian dari Prof. Soebekti karena dapat menyangkup segala aspek. Definisi mengenai hukum perikatan dari Prof. Soebekti tersebut diatas mengandung dua segi, yakni segi hak dan segi kewajiban. Dalam segi kewajiban terdapat dua unsur, yaitu schuld dan haftung.

Hukum perikatan mempunyai unsur - unsur atau element - element yang terdapat dalam perikatan tersebut, yaitu :

  1. Ada hubungan hukum, artinya hubungan hukum yang diberi akibat oleh Undang - Undang.

  2. Didalam bidang hukum harta kekayaan, yaitu peraturan - peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang.

  3. Antara dua pihak, yaitu antara kreditur yang berhak atas suatu presatasi dengan debitur yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.

  4. Isi dan tujuan, yaitu prestasi.

Mengenai prestasi itu sendiri terdapat tiga macam prestasi, yaitu:

  1. Memberikan sesuatu

  2. Berbuat sesuatu

  3. Tidak berbuat sesuatu.

Suatu prestasi harus memenuhi syarat - syarat tertentu. Syarat - syarat tersebut antara lain :

  1. Suatu prestasi atau perikatan harus merupakan suatu prestasi yang tertentu atau dapat ditentukan jenisnya.

  2. Prestasi atau perikatan dihubungkan dengan suatu kepentingan.

  3. Prestasi atau perikatan diperbolehkan oleh Undang - Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

  4. Prestasi atau perikatan mungkin dilaksanakan.

Apabila seseorang telah lalai untuk memenuhi suatu prestasi atau dengan kata lain telah melakukan wanprestasi maka orang tersebut dapat dikenai suatu sommatie. Sommatie merupakan suatu teguran atau pemberitahuan yang dapat dilakukan oleh kreditur kepada debitur, bahwa perikatan harus ditepati sesuai dengan apa yang yang tercantum dalam pemberitahuan tersebut.Tetapi tidak semua wanprestasi memerlukan sommatie. Jadi debitur dalam keadaan wanprestasi apabila ia tidak memenuhi suatu prestasi. Wanprestasi terdiri tiga macam, yaitu :

  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

  2. Terlambat memenuhi prestasi.

  3. Memenuhi prestasi tapi tidak sempurna.

Sedangkan akibat hukumnya apabila debitur melakukan wanprestasi, maka debitur dapat dikenai hukuman - hukuman :

  1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur.

  2. Pembatalan perjanjian.

  3. Peralihan resiko.

  4. Membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan dipengadilan.

Terhadap debitur yang melakukan wanprestasi, kreditur dapat memilih antara tuntutan sebagai berikut :

  1. Pemenuhan perjanjian.

  2. Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

  3. Ganti rugi saja.

  4. Pembatalan perjanjian.

  5. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Seorang debitur yang dituduh lalai ( wanprestasi ) dan dimintakan supaya diberikan hukuman atas kelalaiannya, dapat melakukan suatu pembelaan dengan berbagai macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman - hukuman tersebut. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu :

  1. Karena adanya keadaan yang memaksa ( overmact atau force majeuer ).Yaitu suatu keadaan yang mana seseorang tidak dapat menduga berada dalam keadaan memaksa, sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajibannya, karena hal - hal yang terjadi diluar kekuatan manusia. Keadaan seperti ini diatur dalam pasal 1244 BW dan 1245 BW. Menurut sifatnya force majeuer bersifat tetap atau terus - menerus dan bersifat sementara. Disini debitur wajib untuk membuktikan tentang terjadinya force majeuer yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan.

  2. Karena kreditur sendiri telah lalai ( Exceptio Non Adimpleti Contractus ).Yaitu pembelaan debitur yang mengatakan bahwa kreditur sendiri yang tidak menepati janji.

  3. Karena kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi ( pelepasan hak atau Rechtverwerking ).Yaitu suatu sikap kreditur darimana pihak debitur boleh menyimpulkan bahwa kreditur itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi.

Perikatan itu terdiri dari berbagai jenis yang dibedakan menurut :

A. Sifat dari pada prestasinya :

  1. a. Perikatan positif, yaitu perikatan yang prestasinya berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu.

    b. Perikatan negatif, ialah perikatan yang prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu.

  2. a. Perikatan sementara, ialah perikatan yang prestasinya cukup hanya dilakukan dalam suatu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai. Contoh : jual beli.

    b. Perikatan terus menerus, ialah perikatan yang prestasinya bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Contoh : sewa menyewa, perjanjian kerja.

  3. a. Perikatan alternatif, ialah perikatan dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan. Menurut pasal 1273 BW kecuali ditentukan secara tegas bahwa pilihan diserahkan kepada kreditur, maka debiturlah yang berhak memilih.

    b. Perikatan fakultatif, ialah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa satu prestasi, baru kemudian apabila prestasi yang ditentukan tidak ada debitur dapat menggantikan dengan prestasi lain.

    c. Perikatan sederhana atau bersahaja, ialah perikatan yang prestasinya tidak mempunyai obyek yang banyak ( obyeknya tunggal ). Contoh : A membeli mobil atau membeli rumah.

    d. Perikatan comulatif, ialah perikatan yang prestasinya mempunyai obyek yang banyak ( lebih dari satu ).

  4. a. Perikatan generik, ialah perikatan dimana obyeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya. Contoh : A melever 1 kwintal gula pasir.

    b. Perikatan spesifik, ialah perikatan yang obyeknya ditentukan secara terperinci. Contoh : A melever 10 kg cat warna merah merk altex.

  5. a. Perikatan yang dapat dibagi - bagi (deelbaar Verbentenis ), ialah perikatan yang prestasinya dapat diangsur bagian demi bagian, sebab tiap bagian itu tidak mengurangi nilai keseluruhan. Contoh : melever beras.

    b. Perikatan yang tidak dapat dibagi - bagi ( ondeelbaar Verbentenis ), ialah perikatan yang prestasinya tidak dapat diangsur bagian demi bagian, karena tiap bagian akan mengurangi nilai secara keseluruhan. Melever intan, sepatu, telur tidak dapat diangsur bagian demi bagian karena akan mengurangi nilainya.

B. Menurut subyek - subyeknya, terdapat perikatan solider, ialah suatu perikatan dimana terdapat lebih

daripada seorang kreditur masing - masing bagi keseluruhan berhak atas suatu prestasi, atau terdapat lebih daripada seorang debitur masing - masing bagi keseluruhan berkewajiban untuk memenuhi prestasi, pemenuhan prestasi mana mengakibatkan gugurnya hak dan kewajiban semuanya. Contoh : A, B dan C berhutang bersama sama kepada D, disini D dapat memeinta pelunasan pada A, B atau C saja yang dapat membebaskan utang A, B dan C secara keseluruhan.




C. Menurut isi dari prestasinya. Ditinjau dari segi ini terdapat beberapa macam perikatan, yaitu :

  1. a. Perikatan hukum sipil, ialah perikatan hukum yang dapat dimintakan sanksi, artinya perikatan hukum yang dapat dituntut dimuka pengadilan. Contoh : utang piutang karena jual beli suatu barang.

    b. Perikatan hukum wajar, ialah perikatan hukum yang tidak dapat dimintakan sanksinya, artinya perikatan hukum yang tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Contoh : utang piutang karena perjudian.

  2. a. Perikatan hukum utama, ialah perikatan hukum yang mempunyai isi utama. Contoh : pinjam meminjam uang.

    b. Perikatan hukum sampiran, ialah perikatan hukum yang bersandar pada perikatan utama. Contoh : gadai, hipotik.

  3. Perikatan hukum primer, ialah perikatan hukum yang pertama - tama ada, jadi hampir sama dengan perikatan hukum utama. Contoh : pertunjukan Linkin Park Band tidak dapat diganti dengan band lain.

    b. Perikatan hukum sekunder, ialah perikatan hukum yang jika prestasi pertama tidak dapat dilaksanakan, bisa diganti dengan prestasi kedua. Contoh : pertunjukan Linkin Park band gagal dapat diganti dengan Super Junior boy band.

D. Menurut mulai dan berakhirnya perikatan.. Ditinjau dari segi ini terdapat beberapa macam perikatan, yaitu:

  1. Perikatan bersyarat ( pasal 1253 BW s/d pasal 1267 BW )

  2. Perikatan hukum dengan ketetapan waktu ( pasal 1268 BW s/d pasal 1271 BW )

E. Menurut sanksi apabila terjadi wanprestasi. Dari segi ini terdapat perikatan hukum dengan ancaman hukuman, ialah perikatan hukum dimana untuk menjamin pelaksanaannya, debitur diwajibkan untuk melakukan sesuatu jika perikatan tidak dipenuhi.























BAB II

PERIKATAN YANG

DILAHIRKAN KARENA PERJANJIAN




Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri terhadap seseorang atau lebih. Atau juga dapat diartikan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian tersebut menimbulkan perikatan, oleh karena itu perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkain kata - kata yang mengandung janji - janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Lalu apakah perbedaan antara perjanjian dengan perikatan, perbedaannya adalah :

  1. Perjanjian adalah suatu hal yang konkrit, artinya dapat melihat atau membaca suatu perjanjian atau mendengarkan perkataan - perkataannya. Sedangkan perikatan adalah suatu hal yang abstrak, artinya kita tidak dapat melihat atau mendengarkan suatu perikatan melainkan hanya dapat membayangkan dalam alam pikiran kita.

  2. Perjanjian merupakan perbuatan hukum. Sedangkan perikatan tidak selalu merupakan perbuatan hukum.

  3. Akibat hukum dari perjanjian selalu dikehendaki oleh para pihak. Sedangkan akibat hukum dari perikatan belum tentu dikehendaki oleh para pihak.

Unsur - unsur perjanjian, yaitu :

  1. Essentialia, ialah unsur yang sangat penting dalam suatu perjanjian. Misalnya didalam perjanjian harus ada kata sepakat antara kedua belah pihak.

  2. Naturalia, ialah unsur perjanjian yang sewajarnya ada jika dikesampingkan oleh kedua belah pihak. Misalnya menurut pasal 1419 BW dalam perjanjian jual beli barang, penjual wajib menjamin cacat yang tersembunyi. Namun kewajiban ini dapat ditiadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak.

  3. Accidentalia, ialah unsur perjanjian ada jika dikehendaki kedua belah pihak. Misalnya perjanjian tidak dibutuhkan suatu bentuk tertentu, artinya perjanjian boleh dibuat dengan akte atau secara lesan.

Didalam ilmu hukum ada empat macam asas perjanjian, yaitu :

  1. Asas konsensualitas, artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian sudah mengikat. Mengenai asas ini terdapat pengecualian, yakni adanya perjanjian riil, misalnya perjanjian penitipan barang ( pasal 1694 BW ), perjanjian pinjam pakai ( pasal 1740 BW ), perjanjian pinjam pakai sampai habis ( pasal 1754 BW ).

  2. Bentuk perjanjian bebas, artinya perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu, jadi boleh diadakan secara tertulis, lesan dan sebagainya. Terhadap asas ini terdapat pengecualian, yaitu adanya perjanjian formil, misalnya pendirian PT, hipotik dan lain sebagainya.

  3. Kebebasan berkontrak, artinya setiap orang bebas membuat perjanjian yang terdapat dalam Undang - Undang yang dikenal dengan perjanjian bernama.

  4. Apa yang diperjanjikan mengikat kedua belah pihak.

Mengenai syarat - syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 BW, yaitu terdapat 4 syarat, antara lain :

  1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.

  2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian .

  3. Suatu hal tertentu, artinya barang yang menjadi obyek perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya dan jumlahnya.

  4. Suatu sebab yang halal.

Jenis-jenis perjanjian :

  1. Perjanjian Obligator, yaitu suatu perjanjian dimana mengharuskan atau mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu, misalnya pembeli wajib menyerahkan harga barang, penjual wajib menyerahkan barang. Perjanjian ini pun masih terbagi beberapa macam, antara lain yaitu :

  • Perjanjian sepihak, ialah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain. Contoh : perjanjian hibah dan perjanjian pinjam pakai.

  • Perjanjian timbal balik, ialah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi. Contoh : perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa.

  • Perjanjian cuma – cuma, ialah perjanjian dalam mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tidak mendapatkan nikmat darinya. Contoh perjanjian hibah.

  • Perjanjian atas beban, ialah perjanjian yang mewajibkan masing – masing pihak memberikan prestasi ( memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu ). Contoh : jual beli, sewa menyewa.

  • Perjanjian konsensuil, ialah perjanjian yang sudah mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Jadi perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak. Contoh : jual beli, sewa menyewa.

  • Perjanjian riil, ialah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan atau tindakan nyata. Jadi adanya kata sepakat saja, perjanjian tersebut belum mengikat kedua belah pihak. Contoh : perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai.

  • Perjanjian formil, ialah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, jadi bentuknya harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku. Jika bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka perjanjian tersebut tidak sah. Contoh : Jual beli tanah harus dengan akte PPAT, pendirian PT harus dengan akte notaris.

  • Perjanjian bernama, ialah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan dalam BW buku III bab V s/d bab XVII dan dalam KUHD. Contoh : perjanjian jual beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, perjanjian pengangkutan.

  • Perjanjian tak bernama, ialah perjanjian yang tidak diatur dan tidak disebutkan dalam BW dan KUHD.

  • Perjanjian campuran, ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian. Perjanjian ini tidak diatur dalam BW maupun dalam KUHD. Contoh : perjanjian jual beli ( gabungan sewa menyewa dan jual beli ). Setiap orang diperbolehkan atau bebas membuat perjanjian bernama, tak bernama maupun perjanjian campuran, karena hukum perikatan dan hukum perjanjian yang diatur dalam buku III BW merupakan hukum pelengkap.

  1. Perjanjian Non Obligator, yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan seseorang untuk membayar atau menyerahkan sesuatu. Perjanjian ini juga terbagi atas beberapa macam, yaitu :

  • Zakelijk overeenkomst, ialah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain, jadi obyek perjanjian adalah hak. Contoh : balik nama atas tanah, hipotik.

  • Bevifs overeenkomst, ialah perjanjian untuk membuktikan sesuatu. Perjanjian ini umumnya ditujukan pada hakim, jika terjadi perselisihan, dipakai sebagai alat bukti yang menyimpang dari apa yang ditentukan oleh UU.

  • Liberatoir overeenkomst, ialah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban. Misalnya, A berhutang kepada B sebanyak Rp 1 juta. B mengadakan perjanjian liberatoir yakin bahwa mulai sekarang A tidak usah membayar utang tersebut .

  • Vaststelling overeenkomst, ialah perjanjian untuk mengakhiri keraguan – keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum antara kedua belah pihak. Contoh : dading ( perjanjian antara kedua belah pihak untuk mengakhiri perselisihan yang ada dimuka pengadilan ).







































BAB III

PERIKATAN YANG

BERSUMBER PADA UNDANG-UNDANG




Menurut pasal 1352 BW, perikatan yang bersumber pada Undang-Undang timbul dari :

  1. Undang - Undang sendiri.

    Contoh : pasal 321 BW dan pasal 323 BW, yakni kewajiban memberi nafkah oleh orang tua terhadap anak - anaknya, dan sebaliknya seorang anak berkewajiban memberi nafkah kepada orang tuanya dan keluarganya dalam garis lurus keatas yang menjadi miskin.

  2. Undang - Undang sebagai akibat perbuatan manusia. Pasal 1353 BW membedakan menjadi 2 macam yaitu :

  • Perikatan yang timbul dari Undang - Undang karena perbuatan manusia yang menurut hukum. Contoh zaakwarneming ( pasal 1354 BW ), pembayaran yang tidak terutang, dan perikatan alam atau wajar.

  • Perikatan - perikatan yang timbul karena perbuatan manusia yang melawan hukum. Contoh : onrechtmatigedaad ( pasal 1365 ).

Zaakwarneming ialah suatu perbuatan dimana seseorang dengan sukarela mewakili urusan orang lain untuk sementara waktu dengan/tanpa pengetahuan orang itu dan tanpa kuasa , mengikat orang itu ( zaakwarnemar atau gestor ) untuk merumuskan dan menyelesaikan urusan tersebut sampai orang yang diwakilinya ( dominus ) itu dapat mengerjakan sendiri urusanya. Dalam hal perwakilan sukarela ini perbuatan - perbuatan hukum dapat dilaksanakan atas nama gestor atau atas nama dominus. Jika dilakukan atas nama gestor, maka terjadi hubungan hukum antara gestor dengan pihak ketiga. Jika dilakukan atas nama dominus maka terjadi hubungan hukum antara dominus dengan pihak ketiga.

Unsur - unsur zaakwarneming :

  1. Gestor mengurus kepentingan dominus secara sukarela

  2. Gestor mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain

  3. Gestor harus menyelesaikan urusan atau kepentingan biaya dan resiko dominus

  4. Keperluan mendesak ( urgensi ) untuk berbuat.

Kewajiban - kewajiban gestor :

  1. Melanjutkan penyelesain urusan dominus sampai dominus dapat menyelesaikan sendiri

  2. Bertindak sebagai kepala keluarga yang baik dalam menyelesaikan tugasnya.

  3. Pertanggungjawaban gestor adalah seperti kuasa biasa, misalnya pemberian laporan tentang apa yang telah dilakukannya demi kepentingan dominus dan pertanggungjawaban kepentingan. Apabila gestor melalaikan tugasnya tersebut, maka akan menimbulkan kerugian bagi dominus, dan gestor harus membayar ganti rugi kepada dominus.

Apabila gestor melakukan kewajiban dengan baik, maka gestor berhak atas penggantian biaya yang telah dikeluarkannya yang sangat perlu dan bermanfaat bagi dominus. Untuk menjamin dominus akan mengganti biaya tersebut, maka gestor mempunyai hak retensi untuk menahan barang milik dominus yang berada dalam tangannya. Namun demikian gestor tidak berhak atas imbalan. Maka pembentuk Undang - Undang mempertahankan zaakwarneming sebagai pertolongan tanpa imbalan.

Hak dan kewajiban dominus adalah kebalikan dari gestor yang tersebut diatas. Menurut pasal 1357 BW, dominus harus melaksanakan perikatan yang ditutup atau dilaksanakan oleh gestor dan mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh gestor.

Pembayaran yang tidak terutang adalah suatu perbuatan dimana seseorang melakukan pembayaran tanpa adanya hutang. Contoh, seseorang yang telah melunasi utangnya, ditagih untuk kedua kalinya dan untuk menghindari pertikaian, ia membayar lagi utang tersebut. Pembayaran ini harus diartikan setiap pemenuhan prestasi. Jadi tidak hanya pembayaran uang saja, akan tetapi juga penyerahan barang, memberikan kenikmatan dan mengerjakan sesuatu pekerjaan.

Perikatan alam atau perikatan wajar ialah perikatan yang tidak dapat dimintakan sanksi, artinya perikatan yang pelaksanaannya tidak dapat dituntut dimuka pengadilan. Menurut pasal 1352 ayat 2 BW menentukan bahwa perikatan alam yang secara sukarela dipenuhi, tidak dapat dituntut pengembaliannya.

Dalam BW tidak memberikan perumusan apa yang dimaksud dengan onrechtmatigedaad atau perbuatan melawan hukum, perumusan ini diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Oleh karena itu Undang - Undang tidak memberikan perumusan tentang onrechtmatigedaad. Pasal 1365 BW menentukan : “ Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya, menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian “. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi unsur – unsur :

  1. Perbuatan yang melawan hukum/onrechtmatigedaad

  2. Harus ada kesalahan

  3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan

  4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.































BAB IV

HAPUSNYA PERIKATAN




Menurut pasal 1381 BW menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu :

  1. Pembayaran

  2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

  3. Pembaharuan utang

  4. Perjumpaan atau konpensasi

  5. Percampuran utang

  6. Pembebasan utang

  7. Musnahnya barang yang terutang

  8. Batal atau pembatalan

  9. Berlakunya syarat batal

  10. Lewatnya waktu

Pembayaran ialah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela, misalnya pembayaran uang oleh pembeli, pemenuhan perjanjian kerja oleh buruh.Pembayaran itu harus dilakukan

kapada :

  1. Kreditur

  2. Orang yang dikuasakan oleh kreditur

  3. Orang yang dikuasakan oleh hakim.

Suatu masalah dalam soal pembayaran disebut subrogasi, ialah penggantian hak-hak si berpiutang ( kreditur ) oleh orang ketiga yang membayar kepada kreditur itu. Orang ketiga yang membayar suatu utang menggantikan kreditur terhadap si debitur. Jadi orang ketiga tersebut menjadi kreditur baru yang menggantikan kedudukan kreditur lama. Dengan adanya subrogasi maka sangkut paut dari suatu utang , misalnya segala perjanjian beralih kepada kreditur baru .Sebab-sebab terjadinya subrogasi dapat terjadi karena persetujuan ( pasal 1401 BW ) atau karena Undang-Undang ( pasal 1402 BW ).

Dalam suatu perjanjian mungkin terjadi kreditur menolak pembayaran dengan alasan tertentu. Misalnya, A harus membayar uang sebagai harga pembelian barang kepada B. Akan tetapi harga barang tersebut naik, B tidak mau menerimanya apabila A tidak menambahkan jumlah uang sesuai dengan harga yang telah naik. Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut, A dapat menawarkan pembayaran diikuti dengan penitipan. Uang atau barang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh notaris atau juru sita pengadilan kepada kreditur. Apabila kreditur mau menerima uang atau barang yang ditawarkan itu maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak penawaran, maka notaris atau juru sita membuat proses herbal dan kreditur diminta untuk menandatanganinya. Proses ini merupakan suatu bukti bahwa kreditur telah menolak pembayaran. Kemudian debitur mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. Uang atau barang tersebut kemudian dititipkan kepada panitera pengadilan dan dengan demikian hapuslah hutang piutang tersebut. Uang atau barang tersebut yang sudah berada dalam simpanan panitera pengadilan itu atas resiko kreditur dan segala biaya ditanggung oleh kreditur.

Pembaharuan utang ( novasi ) menurut pasal 1413 BW ada 3 macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang, yaitu :

  1. Apabila seorang yang terutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya.

  2. Apaila seorang terutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

  3. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.

Pembaharuan utang atau novasi pada hakekatnya merupakan suatu perjanjian baru untuk menggantikan perjanjian yang lama, sehingga segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan utang yang lama tidak ikut berpindah, kecuali apabila hal tersebut secara tegas dipertahankan oleh si berpiutang.

Perjumpaan atau konpensasi ialah suatu cara hapusnya perikatan dengan jalan memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dengan debitur. Jadi pihak - pihak yang mengadakan itu masing - masing merupakan debitur satu sama lainnya.

Percampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang. Percampuran ini terjadi secara otomatis. Contoh, A mempunyai utang kepada B, kemudian B meninggal dunia. A adalah satu - satunya ahli waris B. Percampuran utang mengakibatkan hapusnya perikatan. Hapusnya perikatan mengahapuskan pula jaminan pihak ketiga. Namun sebaliknya percampuran yang terjadi pada penanggung utang tidak mengakibatkan hapusnya utang pokok.

Dalam BW disebutkan batal atau pembatalan, yang dimaksudkan ialah dapat dibatalkan. Sebab apabila perjanjian itu batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat hapus. Bidang kebatalan ini terbagi menjadi 2 yaitu :

  1. Batal demi hukum, karena kebatalannya terjadi berdasarkan Undang - Undang.

  2. Dapat dibatalkan, karena kebatalannya terjadi apabila ada pihak yang memohon pembatalan.

Yang dimaksud dengan berlaku syarat batal ialah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjian, dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan yang semula seolah - olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal.

Pembebasan utang ialah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si kreditur bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.

Lewat waktu atau kadaluwarsa ialah suatu upaya untuk memperoleh atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat - syarat yang ditentukan oleh Undang - Undang. Menurut pasal 1967 BW, menentukan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan hapus karena kadaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukan adanya kadaluwarsa itu tidak perlu mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tidak dapatlah diajukan terhadapnya suatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Apabila terjadi kadaluwarsa maka hapuslah perikatan dan tinggallah suatu perikatan wajar, artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntuk dimuka hakim. Jika debitur dituntut di pengadilan maka debitur dapat mengajukan tangkisan atau eksepsi tentang kadaluwarsanya piutang dan dengan demikian merelakan atau menangkis setiap tuntutan.










Minggu, 15 Mei 2011

FUNGSI FILSAFAT HUKUM

FUNGSI FILSAFAT HUKUM



Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri
seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga
untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia
memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena
ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalah tafsirkan untuk
mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan
karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi
dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang
sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi
“panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok
orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih
tinggi.
Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum
semakin marak. Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi
kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada
setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar.
Perkara diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama
antara pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya
mampu membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga
berkembanglah “mafia peradilan” (Bismar Siregar, 1989 : 78). Produk hukum
telah dikelabui oleh pelanggarnya sehingga kewibawaan hukum jatuh.Manusia
lepas dari jeratan hukum karena hukum yang dipakai telah dikemas secara
sistematik sehingga perkara tidak dapat diadili secara tuntas bahkan justru
berkepanjangan dan akhirnya lenyap tertimbun masalah baru yang lebih aktual.
Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat memprihatinkan karena
peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak
menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas
yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu. Hukum
hanya menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit
ditemukan arahnya. Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis
partai yang mampu menerobos hukum dari sudut manapun asal sampai pada
tujuan dan target yang dikehendaki.
Filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya,
sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis
yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan
yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan
merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum
baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.
Mengenai fungsi Filsafat Hukum, Roscoe Pound (1972: 3) menyatakan,
bahwa ahli filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untuk
menciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh selama-lamanya,
kemudian membuktikan kepada umat manusia bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi.

Filsafat hukum dalam kehidupan masyarakat adalah berupa pengertian, penyelesaian, pemeliharaan dan pertahanan aturan-aturan yang berlaku, sesuai dengan kebutuhan sosial yang relevan dengan perubahan-perubahan yang ada di dalam masyarakat, sesuai dengan
berlakunya Hukum Positif.Filsafat hukum berupaya memecahkan persoalan, menciptakan hukum yang lebih sempurna, serta membuktikan bahwa hukum mampu menciptakan
penyelesaian persoalan-persoalan yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat dengan menggunakan sistim hukum yang berlaku suatu masa,
disuatu tempat sebagai Hukum Positif.
Filsafat hukum memberikan uraian yang rasional mengenai hukum sebagai upaya untuk memenuhi perkembangan hukum secara universal untuk menjamin kelangsungan di masa depan. Filsafat hukum memegang peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan asas dan dasar etik dari pengawasan sosial, yang berkaitan dengan tujuan-tujuan masyarakat,masalah-masalah hak asasi,kodrat alam.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat.Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil,benar, dan sah.

Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang damai memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana keadilan itu sebenarnya, akan kemana hukum diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti.

Tata rakit antara filsafat, hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk ilmu (mother of science), adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rational dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya. Peranan filsafat tak pernah selesai, tidak pernah berakhir karena filsafat tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak terbatas objeknya.

Filsafat hukum memiliki objek, metode, dan sistematika yang bersifat universal.Filsafat hukum memiliki cabang umum dan khusus serta beberapa aliran didalamnya, terkait dengan persoalan hukum yang selalu mencari keadilan.
Filsafat hukum memfokuskan pada segi filosofisnya hukum yang berorientasi pada masalah-masalah fungsi dari filsafat hukum itu sendiri yaitu melakukan penertiban hukum, penyelesaian pertikaian, pertahankan dan memelihara tata tertib, mengadakan perubahan, pengaturan tata tertib demi terwujudnya rasa keadilan berdasarkan kaidah hukum abstrak dan konkrit.
Pemikiran filsafat hukum berdampak positif sebab melakukan analisis yang tidak dangkal tetapi mendalam dari setiap persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat atau perkembangan ilmu hukum itu sendiri secara teoritis,cakrawalanya berkembang luas dan komprehensive. Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat hukum adalah politik hukum, sebab politik hukum lebih praktis, fungsional dengan cara menguraikan pemikiran teleologiskonstruktif yang dilakukan di dalam hubungannya dengan pembentukan hukum dan penemuan hukum yang merupakan kaidah abstrak yang berlaku umum, sedangkan penemuan hukum merupakan penentuan kaidah konkrit yang berlaku secara khusus.



Kamis, 17 Juni 2010

HUKUM PIDANA


Hukum pidana merupakan suatu hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh UU beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya.Hukum pidana termasuk kedalam golongan hukum publik,yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan umum.

Hukum pidana termasuk hukum yang bersifat materiil yang termuat dalam KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (K.U.H.P).Hukum pidana materiil merupakan hukum yang menentukan perbuatan-perbutan apa yang dapat dipidana,siapa saja yang dapat dipidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan.

Misalnya pasal 362 K.U.H.P. menentukan : "Barang siapa yang mengambil suatu barang,yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain,dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hukum,dipidana karena pencurian,dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.

Peraturan ini termasuk kedalam hukum pidana materiil,karena peraturan ini menentukan suatu perbuatan yang dapat dipidana (mencuri),siapa yang dapat dipidana (barang siapa=semua orang yang mencuri),dan pidana apa yang dapat dijatuhkan (penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah).

Dalam hal demikian itu pencurinya oleh orang yang mengetahuinya ditangkap,dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa,diusut dan disampaikan kepada jaksa,kemudian oleh jaksa dituntut dimuka pengadilan pidana dan akhirnya oleh Hakim diperiksa dalam sidang pengadilan dan dijatuhi pidana penjara,pidana mana oleh jaksa disuruh jalankan terpidana didalam lembaga pemasyarakatan.Tindakan-tindakan seperti inilah yang disebut hukum pidana formil atau yang dinamakan hukum acara pidana.

Dapat dikatakan,hukum pidana formil adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur soal-saol sebagai berikut:
1.Cara bagaimana yang harus diambil tindakan-tindakan jika ada sangkaan,bahwa telah terjadi suatu tindak pidana,cara bagaimana untuk mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana.
2.Setelah ternyata,bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan,siapa dan cara bagimana harus mencari dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu,cara menangkap,menahan dan memeriksa orang itu.
3.Cara bagimana mengumpulkan barang bukti,memeriksa,menggledah badan dan tempat-tempat lain serta membeslah barang-barang itu,untuk membuktikan kesalahan tersangka.
4.Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.
5.Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan dan sebagainya,atau dengan singkat dapat dikatakan : yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil,sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.(sh)